Nama : Mahpudin
Npm : 54416232
Kelas : 1IA05
Dosen : Widio Purwani
Teknologi
Industri | Teknik Informatika | Universitas Gunadarma 2017
ILMU BUDAYA DASAR
Tugas Ke Empat
Ki Hadjar Dewantoro
Ki Hadjar Dewantara
Ki
Hadjar Dewantara
|
|
Ki Hadjar
Dewantara
|
|
Masa jabatan
2 September 1945 – 14 November 1945 |
|
Presiden
|
|
Didahului oleh
|
Tidak ada, jabatan baru
|
Digantikan oleh
|
|
Informasi
pribadi
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Agama
|
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EBI: Suwardi
Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EBI: Ki
Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 – meninggal
di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai
"Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata
untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal
kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya
diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.
Ia dikukuhkan
sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno,
pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Masa muda dan awal karier
Soewardi
berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH
Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda).
Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi
tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar,
antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya,
ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan
semangat antikolonial.
Aktivitas
pergerakan
Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota
organisasi Insulinde,
suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan
sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische
Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Ki Hadjar Dewantara
(Chris Lebeau, 1919)
(Chris Lebeau, 1919)
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat
mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan
Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis
dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan
tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah
kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlandermemberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide
untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang
kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan
kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyaksikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya
yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang
menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk
menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun
demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan
akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal
sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar
asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan
belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche
Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan
dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini
Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori,
serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan,
oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan
Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang
dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh,
semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani. ("di
depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian
pada masa Indonesia merdeka
Patung Ki Hajar
Dewantara
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia,
KHD diangkat menjadi Menteri
Pengajaran Indonesia (posnya
disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama.
Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris
causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya
dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat
Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).Ia
meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Untuk dalam bentuk word,bisa di download melalui link berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar